Hari-hari ini kita mendengar, sejumlah
proyek infrastruktur baik yang dikendalikan oleh pemerintah maupun atas
pengerjaan swasta sedang menjadi sorotan.
Mulai dari jalan
tol Lintas Sumatra, Jembatan Selat Sunda, jalan tol lintas Jawa,
sejumlah pelabuhan, serta rencana renovasi bandara Soekarno Hatta yang
disertai dengan pembangunan jalur kereta bandara, serta sejumlah bandara
kota besar lainnya.
Itu hanya menyebut sejumlah proyek, di luar
banyak proyek lain yang masih dalam perencanaan, maupun kajian. Termasuk
pula upaya pendukung dari sisi pembiayaan, seperti usulan tentang
perlunya bank khusus yang membiayai infrastruktur.
Dalam kerangka
Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI, bahkan
disebutkan anggaran yang diperlukan untuk mempercepat infrastruktur
melebihi Rp600 triliun.
Jelas, mengingagtkan kembali soal ini menjadi sangat penting dan strategis.
Penyediaan infrastruktur selalu tertinggal oleh kecepatan pertumbuhan ekonomi.
Investasi infrastruktur menjadi sebuah keharusan. Bukan semata lantaran pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah berkomitmen mewujudkan infrastruktur yang memadai, lebih dari itu adalah demi momentum pertumbuhan.
Kita tahu,
sepanjang pemerintahan Yudhoyono, sudah dua kali digelar konvensi
nasional yang disebut Infrastructure Summit. Semenjak itu, wacana
mengenai percepatan pembangunan infrastruktur terus menerus menghiasi
pemberitaan media, termasuk sejumlah kendala yang melingkupinya.
Pemerintah
akhirnya berhasil mengatasi salah satu kendala, yang dianggap paling
penting, menyusul disahkannya UU Pembebasan Lahan yang terkait dengan
proyek infrastruktur. Selain itu, berbagai upaya debottlenecking telah
dilakukan, termasuk insentif untuk pembangunan proyek infrastruktur bagi
swasta.
Maka, pintu semakin terbuka lebar, yang akan memberi
jalan bagi percepatan proyek infrastruktur yang dinanti banyak investor,
pelaku bisnis, dan tentu saja masyarakat luas sebagai pengguna.
Jelas
bahwa upaya yang telah dilakukan tidaklah sedikit, tetapi belumlah
cukup. Jelas pula bahwa, penyediaan infrastruktur selalu tertinggal oleh
kecepatan pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Itu pula yang
menjelaskan, mengapa laju pertumbuhan ekonomi yang semestinya bisa lebih
besar --dari level 6% saat ini-- tetapi selalu tertahan karena
kekhawatiran bahwa laju ekonomi tidak sustainable apabila terus dipacu
lebih kencang.
Kecemasan terhadap inflasi terutama bersumber pada harga kebutuhan pokok akibat problem distribusi.
Maka
muncullah istilah yang disebut moderasi pertumbuhan, melalui berbagai
instrumen kebijakan yang seolah-olah membatasi aktivitas ekonomi,
seperti pembatasan kredit, pembatasan uang muka kredit, yang seolah
antibisnis.
Persoalan pertumbuhan ekonomi memang tidaklah
sederhana. Tatkala ekonomi terus berpacu, di mana Indonesia termasuk
salah satu negara dengan kinerja ekonomi terbaik di dunia setelah China
--dan sesekali India-- bayangan inflasi memang menghantui sepanjang
masih terdapat gap dengan penyediaan infrastruktur.
Belakangan,
misalnya, laju inflasi dianggap mencemaskan, meski masih tetap dalam
rekor terbaik sepanjang sejarah ekonomi Indonesia, yang pernah
membukukan laju inflasi double digit. Bahkan inflasi pernah melampaui
level 70% saat krisis ekonomi 1997/1998.
Kecemasan terhadap laju
inflasi terutama bersumber pada harga kebutuhan pokok akibat problem
distribusi, dan sebagian sebab dari problem tata niaga. Beruntunglah
kini bank sentral tidak lagi menganut kebijakan yang ortodoks: tidak
serta merta menghantam setiap risiko inflasi dengan kenaikan suku bunga.
Infrastruktur akan memberikan landasan lebih fundamental bagi kinerja ekonomi yang sustainable.
Jelas
ini langkah yang tepat, mengingat acapkali setiap kenaikan suku bunga
dilakukan, malah mengerem laju ekonomi yang justru memberi tambahan
tekanan bagi konsumen, lapangan kerja, dan laju kemiskinan.
Karena
itu, langkah dan gaya pengambilan kebijakan oleh Bank Indonesia yang
sudah pada rel yang benar, seyogianyalah juga diikuti oleh kesungguhan
pemerintah dalam memacu infrastuktur, agar sumbatan ekonomi yang memicu
inefisiensi serta ancaman inflasi dapat semakin terurai.
Jika ini
terjadi, bukan tidak mungkin laju ekonomi terus meningkat tanpa perlu
terlalu was-was berlebihan terhadap risiko inflasi.
Maka,
percepatan infrastruktur yang kembali berkumandang akhir-akhir ini tidak
bisa ditawar-tawar lagi. Dan ini paralel, tentu saja, dengan upaya
menghapuskan subsidi bahan bakar untuk konsumen yang tidak tepat
sasaran, yang dananya bisa direalokasikan pada dukungan infrastruktur.
Selain
akan memberikan landasan lebih fundamental bagi kinerja ekonomi yang
sustainable, ketersediaan infrastruktur yang memadai akan menahan
ancaman pemanasan ekonomi dalam jangka panjang.Bisnis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar