Senin, 13 Mei 2013

INFRASTRUKTUR INDONESIA

Hari-hari ini kita mendengar, sejumlah proyek infrastruktur baik yang dikendalikan oleh pemerintah maupun atas pengerjaan swasta sedang menjadi sorotan.
Mulai dari jalan tol Lintas Sumatra, Jembatan Selat Sunda, jalan tol lintas Jawa, sejumlah pelabuhan, serta rencana renovasi bandara Soekarno Hatta yang disertai dengan pembangunan jalur kereta bandara, serta sejumlah bandara kota besar lainnya.
Itu hanya menyebut sejumlah proyek, di luar banyak proyek lain yang masih dalam perencanaan, maupun kajian. Termasuk pula upaya pendukung dari sisi pembiayaan, seperti usulan tentang perlunya bank khusus yang membiayai infrastruktur.
Dalam kerangka Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI, bahkan disebutkan anggaran yang diperlukan untuk mempercepat infrastruktur melebihi Rp600 triliun.
Jelas, mengingagtkan kembali soal ini menjadi sangat penting dan strategis.
Penyediaan infrastruktur selalu tertinggal oleh kecepatan pertumbuhan ekonomi.

Investasi infrastruktur menjadi sebuah keharusan. Bukan semata lantaran pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah berkomitmen mewujudkan infrastruktur yang memadai, lebih dari itu adalah demi momentum pertumbuhan.
Kita tahu, sepanjang pemerintahan Yudhoyono, sudah dua kali digelar konvensi nasional yang disebut Infrastructure Summit. Semenjak itu, wacana mengenai percepatan pembangunan infrastruktur terus menerus menghiasi pemberitaan media, termasuk sejumlah kendala yang melingkupinya.
Pemerintah akhirnya berhasil mengatasi salah satu kendala, yang dianggap paling penting, menyusul disahkannya UU Pembebasan Lahan yang terkait dengan proyek infrastruktur. Selain itu, berbagai upaya debottlenecking telah dilakukan, termasuk insentif untuk pembangunan proyek infrastruktur bagi swasta.
Maka, pintu semakin terbuka lebar, yang akan memberi jalan bagi percepatan proyek infrastruktur yang dinanti banyak investor, pelaku bisnis, dan tentu saja masyarakat luas sebagai pengguna.
Jelas bahwa upaya yang telah dilakukan tidaklah sedikit, tetapi belumlah cukup. Jelas pula bahwa, penyediaan infrastruktur selalu tertinggal oleh kecepatan pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Itu pula yang menjelaskan, mengapa laju pertumbuhan ekonomi yang semestinya bisa lebih besar --dari level 6% saat ini-- tetapi selalu tertahan karena kekhawatiran bahwa laju ekonomi tidak sustainable apabila terus dipacu lebih kencang.
Kecemasan terhadap inflasi terutama bersumber pada harga kebutuhan pokok akibat problem distribusi.
Maka muncullah istilah yang disebut moderasi pertumbuhan, melalui berbagai instrumen kebijakan yang seolah-olah membatasi aktivitas ekonomi, seperti pembatasan kredit, pembatasan uang muka kredit, yang seolah antibisnis.
Persoalan pertumbuhan ekonomi memang tidaklah sederhana. Tatkala ekonomi terus berpacu, di mana Indonesia termasuk salah satu negara dengan kinerja ekonomi terbaik di dunia setelah China --dan sesekali India-- bayangan inflasi memang menghantui sepanjang masih terdapat gap dengan penyediaan infrastruktur.
Belakangan, misalnya, laju inflasi dianggap mencemaskan, meski masih tetap dalam rekor terbaik sepanjang sejarah ekonomi Indonesia, yang pernah membukukan laju inflasi double digit. Bahkan inflasi pernah melampaui level 70% saat krisis ekonomi 1997/1998.
Kecemasan terhadap laju inflasi terutama bersumber pada harga kebutuhan pokok akibat problem distribusi, dan sebagian sebab dari problem tata niaga. Beruntunglah kini bank sentral tidak lagi menganut kebijakan yang ortodoks: tidak serta merta menghantam setiap risiko inflasi dengan kenaikan suku bunga.
Infrastruktur akan memberikan landasan lebih fundamental bagi kinerja ekonomi yang sustainable.

Jelas ini langkah yang tepat, mengingat acapkali setiap kenaikan suku bunga dilakukan, malah mengerem laju ekonomi yang justru memberi tambahan tekanan bagi konsumen, lapangan kerja, dan laju kemiskinan.
Karena itu, langkah dan gaya pengambilan kebijakan oleh Bank Indonesia yang sudah pada rel yang benar, seyogianyalah juga diikuti oleh kesungguhan pemerintah dalam memacu infrastuktur, agar sumbatan ekonomi yang memicu inefisiensi serta ancaman inflasi dapat semakin terurai.
Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin laju ekonomi terus meningkat tanpa perlu terlalu was-was berlebihan terhadap risiko inflasi.
Maka, percepatan infrastruktur yang kembali berkumandang akhir-akhir ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dan ini paralel, tentu saja, dengan upaya menghapuskan subsidi bahan bakar untuk konsumen yang tidak tepat sasaran, yang dananya bisa direalokasikan pada dukungan infrastruktur.
Selain akan memberikan landasan lebih fundamental bagi kinerja ekonomi yang sustainable, ketersediaan infrastruktur yang memadai akan menahan ancaman pemanasan ekonomi dalam jangka panjang.Bisnis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar